( Analisis kritis tentang kontribusi Islam
pada ilmu pengetahuan
perspektif historis)
Oleh: Mohammad Darwis, M.Pd.I. *
Abstrak
Tulisan
ini mencoba mengangkat peran dan kontribusi Islam dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dalam percaturan peradaban dunia. Melalui pendekatan
historis-empiris. Kajian ini dimaksudkan memberikan penguatan serta spirit
internalisasi dalam mempertahankan eksistensi dan kontineuitas peran islam
kedepan. Hal ini penting karena kompleksitasnya problem yang dihadapi. Secara
intern, umat islam sering kali masih terjebak dengan over confiden dan
eforia masa lalu yang menjumudkan pemikiran, atau sebaliknya sering merasa
minder dan pesimis. Lebih dari itu, dalam kontek ilmu pengetahuan, islamisasi
ilmu pengetahuan masih bersifat wacana yang debatible karena masih belum
ditemukannya rumusan konsep dan kurikulum yang baku. Sedangkan secara ekstern, Barat yang
tidak rela kejayaan yang telah digenggamnya selama ini beralih lagi kedalam
dominasi umat islam, selalu berusaha mempertahankan eksistensi dan otoritasnya
dengan cara apapun. Problem yang komplek inilah yang harus disikapi umat islam
secara arif dan progresif.
Kata kunci : Islam, Kontribusi, Ilmu Pengetahuan,
Historis
Pendahuluan
Kehadiran agamain slam yang dibawa Nabi
Muhammad SAW. Diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat
berbagai petunjuk tentang bagaimana manusia menyikapi hidup dan
kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang selua-luasnya. Islam
mengajarkan kehidupan yang dinamis, dan progresif, menghargai akal pikiran
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam
memenuhi kebutuhan meterial dan spiritual, bersikap egaliter dan sikap-sikap
positif lainnya.[1]
Dalam konteks relasi Islam dan ilmu pengetahuan’
Islam dengan al-Qur’annya haruslah diposisikan sebagai sumber inspirasi
pengembangan ilmu pengetahuan secara proporsional. Dalam hal ini, menurut Quraish
Shihab al-Qur’an hendaknya ditempatkan pada sisi “social psychology”
(psikologi sosial) bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan).[2]hal
tersebut menjadi penting agar kecendrungan penilaian subjektif peranan agama
dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara khusus bisa diminimalisir dan
ditekan.
Kejayaan Islam dalam beberapa periode yang
berbeda, serta sumbangan Islam pada lahirnya berbagai ilmu pengetahuan modern
membuat "iri" dan sentiment tersendiri bagi agama-agama lain. Hal
tersebut terjadi tidak hanya oleh faktor sentimen pihak luar semata, namun
terkadang karena subjektifitas yang berlebihan kalangan intern umat islam
sendiri yang kurang proporsional. Sehingga muncullah berbagai kajian
"miring" yang sengaja dilakukan oleh kaum yang mengaku menggeluti
Islam, padahal sebenarnya mereka adalah musuh Islam. Golongan yang terakhir ini
akrab dijuluki kaum orientalis yang sengaja mengkaji Islam hanya untuk
mempelajari kelemahan-kelemahannya, dimana sampai saat ini hal tersebut tidak
pernah terbukti.
Fenomena
ini tentunya menjadi problem tersendiri yang harus disikapi secara dewasa dan
arif oleh umat islam. Diantara kearifan sikap yang semestinya dilakukan,
hendaknya kaum muslimin bisa membuktikan secara ilmiah tentang kebenaran
agamanya, dengan mendudukkan fakta historis dan empiris sebagai
landasannya. Adanya korelasi antara
islam dan sains, kemajuan intelektual, kematangan ekonomi, teknologi, tingginya
nilai-nilai sosial dan budaya haruslah bisa dibahasakan secara membumi dan
tidak hanya melangit.
Tulisan singkat ini akan membahas peranan
penting dan kontribusi Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan ditengah
pluralitas agama-agama yang ada di Dunia.
Argumentasi Kebenaran Islam di Tengah Pluralitas Agama
Islam adalah agama yang terakhir di
antara sekian agama besar di Dunia, yang semuanya merupakan kekuatan raksasa
ditengah usaha bereksistensi dan mengambil peranan dalam membangun peradaban
dunia. Di sisi lain Islam bukan hanya agama yang datang belakangan, namun
diyakini sebagai agama yang sempurna dan menyempurnakan agama-agama yang
sebelumnya.[3]
Mengenai posisi Islam terhadap
agama-agama yang datang sebelumnya dapat dikemukakan sebagai berikut;[4]Pertama,
dapat dilihat dari ciri khas agama islam yang paling menonjol yaitu mengakui
bahwa agama-agama besar yang datang sebelumnya (baca;Yahudi dan Nasrani) adalah
agama yang diwahyukan Allah SWT. Islam juga memerintahkan umatnya untuk
mengimani hal tersebut. Kedua, Islam adalah agama yang menyempurnakan
agama-agama samawi yang sebelumnya. Ketiga, Islam memainkan
peranan-peranan penting yang menjadi tugas pokoknya, yaitu; (1)mendatangkan
perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan antar agama
sekalipun,(2)menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam semua agama,
(3)memperbaiki kesalahan penganut agama sebelumnya dengan dimasukkan ke dalam
agamanya,(4)mengajarkan kebenaran abadi yang sebelumnya tak pernah
diajarkan serta memenuhi segala
kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusi yang selalu bergerak maju. Keempat,
Islam mengandung misi pembaharuan terhadap agama-agama sebelumnya. Kelima,
di antara agama-agama yang lain, Islam memiliki dua sifat dominan, yaitu
akomodatif dan persuasif. Keenam, Islam memiliki ajaran moral dan Akhlak
yang tidak kalah dengan agama-agama yang lain. Dari ini, kita bisa memahami bahwa
agama Islam memiliki korelasi dan koherensi ajaran dengan agama-agama yang lain
yang memiliki keistimewaan sebagai yang sempurna dan penyempurna.
Namun
demikian, umat Islam dituntut untuk mengenal Islam secara kaffah
(menyeluruh). Islam sebagai agama samawi yang diturunkan terakhir ke
dunia, tidak hanya dikagumi oleh umat Islam sendiri, akan tetapi lebih dari itu
orang-orang di luar Islam (barat) juga melakukan kajian-kajian yang mendalam
terhadap Islam. Merekalah yang disebut dengan kaum orientalis[5]
Kritik-kritik kaum oreintalis yang diarahkan kepada Islam kadang-kadan
disebabkan kesalahan mereka sendiri dalam memahami Islam, serta pengingkaran
terhadap hati nurani mereka kepada kebenaran Islam sebagai agama rahmatan li
al-'alamin.Tapi juga tidak jarang
ditemukan dalam beberapa literatur yang mengungkapkan rasa kekaguman mereka
terhadap Islam. Diantaranya dapat dicontohkan ungkapan Gauhar, "
masyarakat Islam itu tidak hanya masyarakat yang berkeseimbangan, akan tetapi
juga secara ideal dipenuhi oleh misi moral dan sikap aktivitas" yang
mengagumkan,[6]
demikian pula yang dikatakan Gibb,
"Islam bukan hanya suatu sistem teologi yang mengajarkan ketuhanan, tetapi
lebih dari itu ia adalah ajaran yang dapat mernghasilkan peradaban dan
kebudayaan yang sempurna" (Islam is indeed much more than system of
theology, it is a complete civilization).[7]
Sedangkan ungkapan ilmuan muslim sendiri terhadap keagungan Islam, dapat
dicontohkan perkataan al-Maududi, "Islam bukan hanya kumpulan dogma dan
ritual, tetapi merupakan suatu pedoman hidup yang lengkap" (Islam is
not a more collection of dogmas and rituals, it is a complete way of life).[8]
Dalam konteks muatan ajaran, Islam tidak
hanya memuat konsep kehidupan umat manusia dalam bidang ritual saja, akan
tetapi aspek-aspek yang lain juga menjadi kajian utamanya. Miftah Farid
sebagaimana dikutip Ali Hasan mengatakan, bahwa kandungan pokok ajaran Islam
adalah: Aqidah, syari'ah yang terdiri dari ibadah dan muamalah, pembinaan
keluarga, kemasyarakatan, kepemimpinan, pergaulan sesama manusia, hubungan
antar agama, makanan dan minuman, harta warisan, hukum perkawinan, hukum
perjanjian, hukum pidana, hukum perang (politik), kedisiplinan, dan musyawarah (syura).[9]
Untuk memahamai Islam dengan sempurna,
maka diperlukan sebuah pendekatan (approach) yang akan mengantarkan pada sisi
arah kajian itu dilakukan. Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya
digunakan dalam memahami agama.[10] Dalam
hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata,
mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai deangan
kerangka paradigmanya.[11]Selanjutnya
secara garis besar, Noeng Muhajir membagi metodologi studi Islam ke dalam dua
pendekatan, pendekatan pertama adalah pendekatan teologik sebagaimana
dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren
dan madrasah, dengan muatan kurikulum tradisional seperti ulumul qur'an,
ulumul hadits, fiqih, teologi, sejarah dan filsafat. Pendekatan ini akan
melahirkan ahli-ahli di bidang teologi, fiqh, kalam, tafsir, hadits dan
bahasa. Sedangkan pendekatan kedua
adalah pendekatan multidisipliner dan interdisipliner yang memuat
perangkat ilmu-ilmu untuk memahami kurikulum yang telah ada. Pendekatan ini
akan melahirkan ahli politik, ekonomi, pendidikan, filsafat dan segala ilmu
bantu lainnya.[12]
Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan
dalam Islam
Para pemikir dalam wacana ilmu pengetahuan
dan Islam umumnya tak menaruh perhatian serius pada pengkajian sejarah ilmu
pengetahuan dalam peradaban Islam maupun filsafat ilmu pengetahuan yang
berkembang di Barat sejak akhir abad ke-19 –Yang dapat dikecualikan dari
pernyataan ini mungkin hanya Iqbal dan Surush. Keduanya mempelajari filsafat
secara langsung di Eropa.
Khusus mengenai sejarah ilmu pengetahuan,
di masa Iqbal belum tampak pengkajian yang serius. Ketika itu kajian tentang
al-Biruni, Ibn Sina, Thusi, Ibn al-Haytham masih amat langka. Manuskrip yang
telah berusia beberapa abad baru mulai digali dari perpustakaan. Sesungguhnya,
dalam salah satu esai pendeknya, “A Plea for A Deeper Study of Muslim
Scientists” (Imbauan bagi Kajian Lebih Dalam Mengenai Ilmuwan Muslim), Iqbal
pernah secara khusus berbicara tentang hal ini. Ia menyeru kepada Muslim
sezamannya untuk secara serius mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim
terdahulu. Dalam esai itu ia memberikan beberapa contoh tentang betapa majunya
pikiran para ilmuwan Muslim di zamannya. Beberapa di antaranya bahkan telah
mengantisipasi temuan-temuan mutakhir ilmu pengetahuan yang revolusioner.
Saat ini, kerja beberapa dasawarsa
penelitian manuskrip-manuskrip kuno itu telah mulai membuahkan hasilnya.
Hasil-hasil pengkajian itu telah membantu banyak untuk memberi gambaran tentang
bagaimana “ilmu pengetahuan” – yang berdasarkan temuan-temuan itu
pendefinisiannya sebagai sesuatu yang universal terjadi, baik di peradaban
Barat maupun Islam, masih dapat dipertanyakan – berkembang dalam tradisi Islam.
Salah satu paparan modern pertama adalah karya monumental George Sarton,
Introduction to the History of Science (Pengantar Sejarah Ilmu Pengetahuan)
terbit tahun 1927. Dalam salah satu jilid karya itu terdapat beberapa bab yang
dikhususkannya untuk membahas ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, Ibn Haytsam,
dan sebagainya. Lalu karya Fuat Sezgin yang belum selesai, Geschichte des
Arabischen Schriftums (Sejarah Khazanah Penulisan Arab), yang menyurvei tak
kurang dari 1,5 juta manuskrip berbahasa Arab, telah mampu menampilkan
nama-nama ilmuwan Muslim berserta karyanya serta ruang lingkup pengkajian
mereka yang amat luas.
Di samping
karya-karya survei seperti itu, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah
cukup banyak pula karya-karya ilmuwan Muslim di masa awal peradaban Islam yang
diterjemahkan, terutama ke dalam bahasa Inggris. Ini memungkinkan lebih banyak
peneliti sejarah ilmu pengetahuan Islam yang tak akrab dengan bahasa mereka
untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang ilmu pengetahuan Islam.
Berkat karya-karya
perintis itulah, belakangan ini muncul beberapa karya cemerlang – sebagian
besarnya dalam bentuk artikel di jurnal-jurnal ilmiah – baik yang ditulis
Muslim maupun non-Muslim. Dengan itu kini telah terbentuk gambaran yang lebih
baik tentang dinamika perkembangan “ilmu pengetahuan” dalam tradisi intelektual
Islam; tentang bagaimana para ilmuwan zaman itu mengasimilasi karya-karya
ilmiah Yunani; bagaimana konflik dengan beberapa pandangan Islam diselesaikan;
dan sebagainya.
Beberapa sarjana
terkemuka yang bisa disebut di sini adalah Aydin Sayili, asal Turki, yang
meneliti sejarah astronomi dan astrologi; A.I. Sabra, profesor bidang sejarah
ilmu pengetahuan dari Universitas Harvard, yang menulis tentang pola-pola perjumpaan
ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh Muslim sendiri dengan warisan dari peradaban
lain, khususnya Yunani; Ignaz Goldziher, tentang pertentangan ilmu-ilmu asli
Arab-Islam dengan ilmu-ilmu hasil adopsi dari peradaban-peradaban non-Islam;
Ahmad Hassan dan Donald Hill yang menulis sebuah buku tentang sejarah teknologi
dalam Islam; D.A. King tentang perkembangan matematika, dan banyak lagi
lainnya.
Selain pengkajian
atas beberapa disiplin tersebut, telah mulai pula muncul kajian sistematis
tentang pola perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Salah satu
persoalan yang amat mendapat perhatian adalah tentang sebab-sebab kemerosotan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Dalam tahap awalnya saat ini, analisis historis
tersebut masih terbatas dalam lingkungan akademis sejarawan ilmu pengetahuan.
Jika ini telah tersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas, tentu akan
menjadi amat penting dalam setiap pembicaraan tentang upaya pembangkitan
kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Islamisasi Ilmu Sebagai Sebuah Gerakan
Gagasan-gagasan
para pemikir yang menganjurkan islamisasi ilmu pengetahuan atau penciptaan
suatu ilmu pengetahuan Islam dapat dikatakan telah mewujud dalam suatu
“gerakan”. Ini karena meskipun pada awalnya mereka bergerak sebagai individu, belakangan
terbentuk berbagai kelompok pemikir, sebagian dengan lembaganya masing-masing,
untuk mengembangkan atau bahkan menerapkan gagasan tersebut pada tingkat
praktis. Dalam hal ini perbedaan mereka dengan Iqbal, misalnya, tampak jelas
jika dilihat bahwa gagasan-gagasan Iqbal – secemerlang apa pun gagasannya,
dibandingkan dengan banyak pemikir Muslim kontemporer sekalipun – tinggal
sebagai gagasan dan tak terwujud dalam suatu lembaga yang dapat meneruskan
cita-citanya.
Syed Hosein Nasr,
misalnya, meskipun tak memiliki lembaga formal yang mengembangkan gagasannya,
mempunyai banyak murid yang aktif menulis mengembangkan perspektif
tradisionalisnya di beberapa negara, seperti Malaysia dan Pakistan . Murid
terpenting Nasr adalah Osman Bakar, dari Malaysia . Memperoleh gelar Master
dalam bidang matematika ( London ) dan Doktor dalam filsafat Islam ( Temple
University ), tema-tema karya Bakar tak jauh berbeda dari Nasr. Karya
terpentingnya dalam hal ini adalah Tauhid and Science (Tauhid dan ILmu
Pengetahuan, 1991) yang merupakan kumpulan esai tentang sejarah dan filsafat
ilmu pengetahuan Islam. Bakar kini aktif di Fakultas Ilmu pengetahuan,
Universiti Malaya.
Ziauddin Sardar
dan kelompok Ijmali-nya muncul ke forum intelektual Islam melalui majalah
Afkar/Inquiry yang mereka terbitkan. Majalah ini secara amat gencar mengupas
satu demi satu bidang-bidang ilmu pengetahuan – di antaranya biologi, masalah
lingkungan, juga antropologi – dalam kerangka besar penciptaan peradaban Islam
kontemporer. Afkar/Inquiry, yang hanya terbit selama empat tahun (1984-1987),
sempat menjadi majalah yang cukup penting dalam menampilkan gagasan-gagasan
baru itu. Setelah itu, para penyumbang utamanya lebih banyak menerbitkan buku.
Salah seorang
tokoh Ijmali lain di antaranya adalah Munawar Ahmad Anees, seorang doktor di
bidang biologi. Kajian-kajian kritisnya tentang biologi modern tak hanya
berhenti pada tingkat teoretis, tetapi sudah menukik hingga ke beberapa masalah
praktis. Di sini ia juga melihat implikasinya pada fikih Islam. Selain
artikel-artikel yang ditulisnya di Afkar/Inquiry, ia telah menulis sebuah buku,
Islam and the Biological Futures (Islam dan Masa Depan Biologis). Selain Anees
ada Meryl Wynn Davies, yang mencoba menggali nilai-nilai islami untuk
diterapkan dalam suatu disiplin antropologi. Buku Davies tentang antropologi
Islam yang telah diterbitkan adalah Knowing One Another (Saling Mengenal). Lalu
ada pula Parvez Mansoor yang banyak menulis tentang perpektif Islam atas
lingkungan dan ilmu politik kontemporer.
Di luar lingkup
gerakan kelompok Ijmali, mesti disebut juga sebuah jurnal berbahasa Inggris
yang berbasis di Aligarh, India, Journal of Islamic Science (Majalah Ilmu
Pengetahuan Islam). Jurnal ini sepenuhnya diperuntukkan bagi pengkajian
masalah-masalah di seputar ilmu pengetahuan Islam. Secara umum, posisi jurnal
ini mirip dengan posisi Sardar, yang menghendaki reorientasi epistemologis yang
radikal. Namun, yang lebih sering muncul di sini adalah kritik terhadap ilmu
pengetahuan modern, daripada penggodokan gagasan ilmu pengetahuan Islam
sendiri. Jurnal ini tampaknya kurang berdampak dan tak dianggap sebagai jurnal
penting di lingkungan akademis.
Pada 1981,
al-Faruqi mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan
gagasan-gagasannya tentang proyek islamisasi, yaitu International Institute of
Islamic Thought, IIIT (Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) .
Mendahului pembentukan IIIT adalah penyelenggaraan konferensi tentang
islamisasi ilmu di Swiss pada tahun 1977. Penyelenggaranya adalah Association
of Muslim Social Scientists (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Muslim), di bawah
Muslim Students Association (Perhimpunan Mahasiswa Muslim), sebuah organisasi
Islam yang paling berpengaruh di AS, dengan al-Faruqi sebagai salah seorang
pendirinya (-> artikel “Minoritas Muslim pada Abad ke-20). Konperensi
tentang islamisasi ilmu ini berlanjut dengan konperensi kedua ( Islamabad ,
1983), ketiga (Kuala Lumpur, 1984), dan keempat ( Khartoum , 1987). Lembaga ini
berbasis di Amerika Serikat, namun kini cabangnya di Malaysia tampak berkembang
amat pesat dan lebih mendominasi. Ini terutama disebabkan oleh kuatnya pengaruh
IIIT di Universiti Islam Antarbangsa (International Islamic University, IIU)
Malaysia .
Dengan dukungan
dana yang cukup kuat, lembaga ini hingga kini telah berhasil menerbitkan amat
banyak publikasi, dalam bahasa Inggris dan Arab, di samping sebuah jurnal,
American Journal of Islamic Social Sciences, AJISS (Majalah Amerika Untuk
Ilmu-Ilmu Sosial Islam). Beberapa tahun terakhir ini upaya islamisasi telah
diterjemahkan ke dalam berbagai disiplin ilmu yang spesifik, khususnya
ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi.
Upaya penerbitan
buku dalam bahasa Inggris dan Arab yang amat gencar itu diikuti dengan
penerjemahannya ke beberapa bahasa Islam lain, termasuk bahasa Indonesia .
Selain itu, IIIT telah pula mulai menyelenggarakan seminar-seminar regional di
beberapa negara Muslim, khususnya di Asia Tenggara, yang menjadi ajang
sosialisasi gagasan Islamisasi ilmu dalam berbagai bidangnya.
Di Malaysia,
selain IIU yang menjadi basis pengembangan islamisasi ilmu versi IIIT, ada pula
International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC (Lembaga
Internasiona untuk Pemikiran dan Peradaban Islam), yang didirikan pada 1987.
ISTAC didirikan sebagai perwujudan gagasan Syed Naquib al-Attas, dan dirancang
berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan al-Attas belasan tahun sebelum
lembaga ini berdiri. ISTAC juga aktif menerbitkan buku dan menarik banyak dosen
dan mahasiswa dari berbagai wilayah dunia Islam. Mulai 1996, sebuah jurnal
pemikiran Islam, Al-Shajarah, diterbitkan ISTAC.
ISTAC juga
menerbitkan banyak buku hasil karya para dosennya, terutama dalam bidang
pemikiran Islam. Pada 1996 lembaga ini menerbitkan sebuah buku tentang ilmu
pengetahuan Islam (Islamic Science, Towards A Definition [Ilmu Pengetahuan
Islam, Menuju Suatu Definisi) karya Alparslan Acikgenc, seorang dosen asal
Turki yang belajar di bawah Fazlur Rahman (1919-1988) dan kini mengajar di
ISTAC. Buku ini berusaha menjabarkan lebih jauh gagasan al-Attas tentang
islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan berupaya mendefinisikan ilmu
pengetahuan Islam secara tajam.
Dengan dukungan
dana dari pemerintah Malaysia yang cukup kuat - untuk mendatangkan dosen-dosen
dari negara-negara Muslim, memperkaya perpustakannya, dan mendanai riset-riset
- ISTAC tampaknya masih akan terus mampu mengembangkan gagasan al-Attas,
sebagai pendiri dan direkturnya, dalam menciptakan fondasi teoretis bagi proyek
islamisasinya. Berbeda dengan IIU, ISTAC lebih menekankan pada pengembangan
landasan teoretis yang terutama menyangkut metafisika dan epistemologi ini
daripada melakukan upaya islamisasi secara langsung terhadap disiplin-disiplin
ilmu.