Kamis, 08 Maret 2012

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN


( Analisis kritis tentang kontribusi Islam pada ilmu pengetahuan
 perspektif historis)
Oleh: Mohammad Darwis, M.Pd.I. *

Abstrak
Tulisan ini mencoba mengangkat peran dan kontribusi Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam percaturan peradaban dunia. Melalui pendekatan historis-empiris. Kajian ini dimaksudkan memberikan penguatan serta spirit internalisasi dalam mempertahankan eksistensi dan kontineuitas peran islam kedepan. Hal ini penting karena kompleksitasnya problem yang dihadapi. Secara intern, umat islam sering kali masih terjebak dengan over confiden dan eforia masa lalu yang menjumudkan pemikiran, atau sebaliknya sering merasa minder dan pesimis. Lebih dari itu, dalam kontek ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan masih bersifat wacana yang debatible karena masih belum ditemukannya rumusan konsep dan kurikulum yang baku. Sedangkan secara ekstern, Barat yang tidak rela kejayaan yang telah digenggamnya selama ini beralih lagi kedalam dominasi umat islam, selalu berusaha mempertahankan eksistensi dan otoritasnya dengan cara apapun. Problem yang komplek inilah yang harus disikapi umat islam secara arif dan progresif.
Kata kunci : Islam, Kontribusi, Ilmu Pengetahuan, Historis
Pendahuluan
Kehadiran agamain slam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat  berbagai petunjuk tentang bagaimana manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang selua-luasnya. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis, dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan meterial dan spiritual, bersikap egaliter dan sikap-sikap positif lainnya.[1]
 Dalam konteks relasi Islam dan ilmu pengetahuan’ Islam dengan al-Qur’annya haruslah diposisikan sebagai sumber inspirasi pengembangan ilmu pengetahuan secara proporsional. Dalam hal ini, menurut  Quraish  Shihab al-Qur’an hendaknya ditempatkan pada sisi “social psychology” (psikologi sosial) bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).[2]hal tersebut menjadi penting agar kecendrungan penilaian subjektif peranan agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara khusus bisa diminimalisir dan ditekan. 
 Kejayaan Islam dalam beberapa periode yang berbeda, serta sumbangan Islam pada lahirnya berbagai ilmu pengetahuan modern membuat "iri" dan sentiment tersendiri bagi agama-agama lain. Hal tersebut terjadi tidak hanya oleh faktor sentimen pihak luar semata, namun terkadang karena subjektifitas yang berlebihan kalangan intern umat islam sendiri yang kurang proporsional. Sehingga muncullah berbagai kajian "miring" yang sengaja dilakukan oleh kaum yang mengaku menggeluti Islam, padahal sebenarnya mereka adalah musuh Islam. Golongan yang terakhir ini akrab dijuluki kaum orientalis yang sengaja mengkaji Islam hanya untuk mempelajari kelemahan-kelemahannya, dimana sampai saat ini hal tersebut tidak pernah terbukti.
            Fenomena ini tentunya menjadi problem tersendiri yang harus disikapi secara dewasa dan arif oleh umat islam. Diantara kearifan sikap yang semestinya dilakukan, hendaknya kaum muslimin bisa membuktikan secara ilmiah tentang kebenaran agamanya, dengan mendudukkan fakta historis dan empiris sebagai landasannya.   Adanya korelasi antara islam dan sains, kemajuan intelektual, kematangan ekonomi, teknologi, tingginya nilai-nilai sosial dan budaya haruslah bisa dibahasakan secara membumi dan tidak hanya melangit.
Tulisan singkat ini akan membahas peranan penting dan kontribusi Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan ditengah pluralitas agama-agama yang ada di Dunia.

Argumentasi Kebenaran Islam di Tengah Pluralitas Agama

Islam adalah agama yang terakhir di antara sekian agama besar di Dunia, yang semuanya merupakan kekuatan raksasa ditengah usaha bereksistensi dan mengambil peranan dalam membangun peradaban dunia. Di sisi lain Islam bukan hanya agama yang datang belakangan, namun diyakini sebagai agama yang sempurna dan menyempurnakan agama-agama yang sebelumnya.[3]
Mengenai posisi Islam terhadap agama-agama yang datang sebelumnya dapat dikemukakan sebagai berikut;[4]Pertama, dapat dilihat dari ciri khas agama islam yang paling menonjol yaitu mengakui bahwa agama-agama besar yang datang sebelumnya (baca;Yahudi dan Nasrani) adalah agama yang diwahyukan Allah SWT. Islam juga memerintahkan umatnya untuk mengimani hal tersebut. Kedua, Islam adalah agama yang menyempurnakan agama-agama samawi yang sebelumnya. Ketiga, Islam memainkan peranan-peranan penting yang menjadi tugas pokoknya, yaitu; (1)mendatangkan perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan antar agama sekalipun,(2)menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam semua agama, (3)memperbaiki kesalahan penganut agama sebelumnya dengan dimasukkan ke dalam agamanya,(4)mengajarkan kebenaran abadi yang sebelumnya tak pernah diajarkan  serta memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusi yang selalu bergerak maju. Keempat, Islam mengandung misi pembaharuan terhadap agama-agama sebelumnya. Kelima, di antara agama-agama yang lain, Islam memiliki dua sifat dominan, yaitu akomodatif dan persuasif. Keenam, Islam memiliki ajaran moral dan Akhlak yang tidak kalah dengan agama-agama yang lain. Dari ini, kita bisa memahami bahwa agama Islam memiliki korelasi dan koherensi ajaran dengan agama-agama yang lain yang memiliki keistimewaan sebagai yang sempurna dan penyempurna.
 Namun demikian, umat Islam dituntut untuk mengenal Islam secara kaffah (menyeluruh). Islam sebagai agama samawi yang diturunkan terakhir ke dunia, tidak hanya dikagumi oleh umat Islam sendiri, akan tetapi lebih dari itu orang-orang di luar Islam (barat) juga melakukan kajian-kajian yang mendalam terhadap Islam. Merekalah yang disebut dengan kaum orientalis[5] Kritik-kritik kaum oreintalis yang diarahkan kepada Islam kadang-kadan disebabkan kesalahan mereka sendiri dalam memahami Islam, serta pengingkaran terhadap hati nurani mereka kepada kebenaran Islam sebagai agama rahmatan li al-'alamin.Tapi juga  tidak jarang ditemukan dalam beberapa literatur yang mengungkapkan rasa kekaguman mereka terhadap Islam. Diantaranya dapat dicontohkan ungkapan Gauhar, " masyarakat Islam itu tidak hanya masyarakat yang berkeseimbangan, akan tetapi juga secara ideal dipenuhi oleh misi moral dan sikap aktivitas" yang mengagumkan,[6] demikian pula yang dikatakan  Gibb, "Islam bukan hanya suatu sistem teologi yang mengajarkan ketuhanan, tetapi lebih dari itu ia adalah ajaran yang dapat mernghasilkan peradaban dan kebudayaan yang sempurna" (Islam is indeed much more than system of theology, it is a complete civilization).[7] Sedangkan ungkapan ilmuan muslim sendiri terhadap keagungan Islam, dapat dicontohkan perkataan al-Maududi, "Islam bukan hanya kumpulan dogma dan ritual, tetapi merupakan suatu pedoman hidup yang lengkap" (Islam is not a more collection of dogmas and rituals, it is a complete way of life).[8]
Dalam konteks muatan ajaran, Islam tidak hanya memuat konsep kehidupan umat manusia dalam bidang ritual saja, akan tetapi aspek-aspek yang lain juga menjadi kajian utamanya. Miftah Farid sebagaimana dikutip Ali Hasan mengatakan, bahwa kandungan pokok ajaran Islam adalah: Aqidah, syari'ah yang terdiri dari ibadah dan muamalah, pembinaan keluarga, kemasyarakatan, kepemimpinan, pergaulan sesama manusia, hubungan antar agama, makanan dan minuman, harta warisan, hukum perkawinan, hukum perjanjian, hukum pidana, hukum perang (politik),  kedisiplinan, dan musyawarah (syura).[9]
Untuk memahamai Islam dengan sempurna, maka diperlukan sebuah pendekatan (approach) yang akan mengantarkan pada sisi arah kajian itu dilakukan. Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[10] Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai deangan kerangka paradigmanya.[11]Selanjutnya secara garis besar, Noeng Muhajir membagi metodologi studi Islam ke dalam dua pendekatan, pendekatan pertama adalah pendekatan teologik sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren dan madrasah, dengan muatan kurikulum tradisional seperti ulumul qur'an, ulumul hadits, fiqih, teologi, sejarah dan filsafat. Pendekatan ini akan melahirkan ahli-ahli di bidang teologi, fiqh, kalam, tafsir, hadits dan bahasa.  Sedangkan pendekatan kedua adalah pendekatan multidisipliner dan interdisipliner yang memuat perangkat ilmu-ilmu untuk memahami kurikulum yang telah ada. Pendekatan ini akan melahirkan ahli politik, ekonomi, pendidikan, filsafat dan segala ilmu bantu lainnya.[12]
Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Para pemikir dalam wacana ilmu pengetahuan dan Islam umumnya tak menaruh perhatian serius pada pengkajian sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam maupun filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat sejak akhir abad ke-19 –Yang dapat dikecualikan dari pernyataan ini mungkin hanya Iqbal dan Surush. Keduanya mempelajari filsafat secara langsung di Eropa.
Khusus mengenai sejarah ilmu pengetahuan, di masa Iqbal belum tampak pengkajian yang serius. Ketika itu kajian tentang al-Biruni, Ibn Sina, Thusi, Ibn al-Haytham masih amat langka. Manuskrip yang telah berusia beberapa abad baru mulai digali dari perpustakaan. Sesungguhnya, dalam salah satu esai pendeknya, “A Plea for A Deeper Study of Muslim Scientists” (Imbauan bagi Kajian Lebih Dalam Mengenai Ilmuwan Muslim), Iqbal pernah secara khusus berbicara tentang hal ini. Ia menyeru kepada Muslim sezamannya untuk secara serius mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim terdahulu. Dalam esai itu ia memberikan beberapa contoh tentang betapa majunya pikiran para ilmuwan Muslim di zamannya. Beberapa di antaranya bahkan telah mengantisipasi temuan-temuan mutakhir ilmu pengetahuan yang revolusioner.
Saat ini, kerja beberapa dasawarsa penelitian manuskrip-manuskrip kuno itu telah mulai membuahkan hasilnya. Hasil-hasil pengkajian itu telah membantu banyak untuk memberi gambaran tentang bagaimana “ilmu pengetahuan” – yang berdasarkan temuan-temuan itu pendefinisiannya sebagai sesuatu yang universal terjadi, baik di peradaban Barat maupun Islam, masih dapat dipertanyakan – berkembang dalam tradisi Islam. Salah satu paparan modern pertama adalah karya monumental George Sarton, Introduction to the History of Science (Pengantar Sejarah Ilmu Pengetahuan) terbit tahun 1927. Dalam salah satu jilid karya itu terdapat beberapa bab yang dikhususkannya untuk membahas ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, Ibn Haytsam, dan sebagainya. Lalu karya Fuat Sezgin yang belum selesai, Geschichte des Arabischen Schriftums (Sejarah Khazanah Penulisan Arab), yang menyurvei tak kurang dari 1,5 juta manuskrip berbahasa Arab, telah mampu menampilkan nama-nama ilmuwan Muslim berserta karyanya serta ruang lingkup pengkajian mereka yang amat luas.
Di samping karya-karya survei seperti itu, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah cukup banyak pula karya-karya ilmuwan Muslim di masa awal peradaban Islam yang diterjemahkan, terutama ke dalam bahasa Inggris. Ini memungkinkan lebih banyak peneliti sejarah ilmu pengetahuan Islam yang tak akrab dengan bahasa mereka untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang ilmu pengetahuan Islam.
Berkat karya-karya perintis itulah, belakangan ini muncul beberapa karya cemerlang – sebagian besarnya dalam bentuk artikel di jurnal-jurnal ilmiah – baik yang ditulis Muslim maupun non-Muslim. Dengan itu kini telah terbentuk gambaran yang lebih baik tentang dinamika perkembangan “ilmu pengetahuan” dalam tradisi intelektual Islam; tentang bagaimana para ilmuwan zaman itu mengasimilasi karya-karya ilmiah Yunani; bagaimana konflik dengan beberapa pandangan Islam diselesaikan; dan sebagainya.
Beberapa sarjana terkemuka yang bisa disebut di sini adalah Aydin Sayili, asal Turki, yang meneliti sejarah astronomi dan astrologi; A.I. Sabra, profesor bidang sejarah ilmu pengetahuan dari Universitas Harvard, yang menulis tentang pola-pola perjumpaan ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh Muslim sendiri dengan warisan dari peradaban lain, khususnya Yunani; Ignaz Goldziher, tentang pertentangan ilmu-ilmu asli Arab-Islam dengan ilmu-ilmu hasil adopsi dari peradaban-peradaban non-Islam; Ahmad Hassan dan Donald Hill yang menulis sebuah buku tentang sejarah teknologi dalam Islam; D.A. King tentang perkembangan matematika, dan banyak lagi lainnya.
Selain pengkajian atas beberapa disiplin tersebut, telah mulai pula muncul kajian sistematis tentang pola perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Salah satu persoalan yang amat mendapat perhatian adalah tentang sebab-sebab kemerosotan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dalam tahap awalnya saat ini, analisis historis tersebut masih terbatas dalam lingkungan akademis sejarawan ilmu pengetahuan. Jika ini telah tersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas, tentu akan menjadi amat penting dalam setiap pembicaraan tentang upaya pembangkitan kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Islamisasi Ilmu Sebagai Sebuah Gerakan
Gagasan-gagasan para pemikir yang menganjurkan islamisasi ilmu pengetahuan atau penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam dapat dikatakan telah mewujud dalam suatu “gerakan”. Ini karena meskipun pada awalnya mereka bergerak sebagai individu, belakangan terbentuk berbagai kelompok pemikir, sebagian dengan lembaganya masing-masing, untuk mengembangkan atau bahkan menerapkan gagasan tersebut pada tingkat praktis. Dalam hal ini perbedaan mereka dengan Iqbal, misalnya, tampak jelas jika dilihat bahwa gagasan-gagasan Iqbal – secemerlang apa pun gagasannya, dibandingkan dengan banyak pemikir Muslim kontemporer sekalipun – tinggal sebagai gagasan dan tak terwujud dalam suatu lembaga yang dapat meneruskan cita-citanya.
Syed Hosein Nasr, misalnya, meskipun tak memiliki lembaga formal yang mengembangkan gagasannya, mempunyai banyak murid yang aktif menulis mengembangkan perspektif tradisionalisnya di beberapa negara, seperti Malaysia dan Pakistan . Murid terpenting Nasr adalah Osman Bakar, dari Malaysia . Memperoleh gelar Master dalam bidang matematika ( London ) dan Doktor dalam filsafat Islam ( Temple University ), tema-tema karya Bakar tak jauh berbeda dari Nasr. Karya terpentingnya dalam hal ini adalah Tauhid and Science (Tauhid dan ILmu Pengetahuan, 1991) yang merupakan kumpulan esai tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan Islam. Bakar kini aktif di Fakultas Ilmu pengetahuan, Universiti Malaya.
Ziauddin Sardar dan kelompok Ijmali-nya muncul ke forum intelektual Islam melalui majalah Afkar/Inquiry yang mereka terbitkan. Majalah ini secara amat gencar mengupas satu demi satu bidang-bidang ilmu pengetahuan – di antaranya biologi, masalah lingkungan, juga antropologi – dalam kerangka besar penciptaan peradaban Islam kontemporer. Afkar/Inquiry, yang hanya terbit selama empat tahun (1984-1987), sempat menjadi majalah yang cukup penting dalam menampilkan gagasan-gagasan baru itu. Setelah itu, para penyumbang utamanya lebih banyak menerbitkan buku.
Salah seorang tokoh Ijmali lain di antaranya adalah Munawar Ahmad Anees, seorang doktor di bidang biologi. Kajian-kajian kritisnya tentang biologi modern tak hanya berhenti pada tingkat teoretis, tetapi sudah menukik hingga ke beberapa masalah praktis. Di sini ia juga melihat implikasinya pada fikih Islam. Selain artikel-artikel yang ditulisnya di Afkar/Inquiry, ia telah menulis sebuah buku, Islam and the Biological Futures (Islam dan Masa Depan Biologis). Selain Anees ada Meryl Wynn Davies, yang mencoba menggali nilai-nilai islami untuk diterapkan dalam suatu disiplin antropologi. Buku Davies tentang antropologi Islam yang telah diterbitkan adalah Knowing One Another (Saling Mengenal). Lalu ada pula Parvez Mansoor yang banyak menulis tentang perpektif Islam atas lingkungan dan ilmu politik kontemporer.
Di luar lingkup gerakan kelompok Ijmali, mesti disebut juga sebuah jurnal berbahasa Inggris yang berbasis di Aligarh, India, Journal of Islamic Science (Majalah Ilmu Pengetahuan Islam). Jurnal ini sepenuhnya diperuntukkan bagi pengkajian masalah-masalah di seputar ilmu pengetahuan Islam. Secara umum, posisi jurnal ini mirip dengan posisi Sardar, yang menghendaki reorientasi epistemologis yang radikal. Namun, yang lebih sering muncul di sini adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan modern, daripada penggodokan gagasan ilmu pengetahuan Islam sendiri. Jurnal ini tampaknya kurang berdampak dan tak dianggap sebagai jurnal penting di lingkungan akademis.
Pada 1981, al-Faruqi mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Thought, IIIT (Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) . Mendahului pembentukan IIIT adalah penyelenggaraan konferensi tentang islamisasi ilmu di Swiss pada tahun 1977. Penyelenggaranya adalah Association of Muslim Social Scientists (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Muslim), di bawah Muslim Students Association (Perhimpunan Mahasiswa Muslim), sebuah organisasi Islam yang paling berpengaruh di AS, dengan al-Faruqi sebagai salah seorang pendirinya (-> artikel “Minoritas Muslim pada Abad ke-20). Konperensi tentang islamisasi ilmu ini berlanjut dengan konperensi kedua ( Islamabad , 1983), ketiga (Kuala Lumpur, 1984), dan keempat ( Khartoum , 1987). Lembaga ini berbasis di Amerika Serikat, namun kini cabangnya di Malaysia tampak berkembang amat pesat dan lebih mendominasi. Ini terutama disebabkan oleh kuatnya pengaruh IIIT di Universiti Islam Antarbangsa (International Islamic University, IIU) Malaysia .
Dengan dukungan dana yang cukup kuat, lembaga ini hingga kini telah berhasil menerbitkan amat banyak publikasi, dalam bahasa Inggris dan Arab, di samping sebuah jurnal, American Journal of Islamic Social Sciences, AJISS (Majalah Amerika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Islam). Beberapa tahun terakhir ini upaya islamisasi telah diterjemahkan ke dalam berbagai disiplin ilmu yang spesifik, khususnya ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi.
Upaya penerbitan buku dalam bahasa Inggris dan Arab yang amat gencar itu diikuti dengan penerjemahannya ke beberapa bahasa Islam lain, termasuk bahasa Indonesia . Selain itu, IIIT telah pula mulai menyelenggarakan seminar-seminar regional di beberapa negara Muslim, khususnya di Asia Tenggara, yang menjadi ajang sosialisasi gagasan Islamisasi ilmu dalam berbagai bidangnya.
Di Malaysia, selain IIU yang menjadi basis pengembangan islamisasi ilmu versi IIIT, ada pula International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC (Lembaga Internasiona untuk Pemikiran dan Peradaban Islam), yang didirikan pada 1987. ISTAC didirikan sebagai perwujudan gagasan Syed Naquib al-Attas, dan dirancang berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan al-Attas belasan tahun sebelum lembaga ini berdiri. ISTAC juga aktif menerbitkan buku dan menarik banyak dosen dan mahasiswa dari berbagai wilayah dunia Islam. Mulai 1996, sebuah jurnal pemikiran Islam, Al-Shajarah, diterbitkan ISTAC.
ISTAC juga menerbitkan banyak buku hasil karya para dosennya, terutama dalam bidang pemikiran Islam. Pada 1996 lembaga ini menerbitkan sebuah buku tentang ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science, Towards A Definition [Ilmu Pengetahuan Islam, Menuju Suatu Definisi) karya Alparslan Acikgenc, seorang dosen asal Turki yang belajar di bawah Fazlur Rahman (1919-1988) dan kini mengajar di ISTAC. Buku ini berusaha menjabarkan lebih jauh gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan berupaya mendefinisikan ilmu pengetahuan Islam secara tajam.
Dengan dukungan dana dari pemerintah Malaysia yang cukup kuat - untuk mendatangkan dosen-dosen dari negara-negara Muslim, memperkaya perpustakannya, dan mendanai riset-riset - ISTAC tampaknya masih akan terus mampu mengembangkan gagasan al-Attas, sebagai pendiri dan direkturnya, dalam menciptakan fondasi teoretis bagi proyek islamisasinya. Berbeda dengan IIU, ISTAC lebih menekankan pada pengembangan landasan teoretis yang terutama menyangkut metafisika dan epistemologi ini daripada melakukan upaya islamisasi secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu.

WANITA ADALAH MITRA PARTISIPATIF BAGI LAKI-LAKI

Oleh: Abd. Raseed
Pahlawan Kesiangan, para aktivis_yang kurang mengerti tentang arti “kesetaraan”_ yang baru-baru ini menyuarakan dan memperjuangkan kesetaraan gendre antara pria dan wanita saat ini sangat tepat apabila kita beri laqob dengan “Pahlawan Kesiangan”. Karena jauh sebelum kita terlahir, bahkan sebelum kakek dan nenek kita dilahirkanpun, datangnya Islam dan turunya Al-Qur’an di Pangkuan Rasulullah SAW telah mengakui bahwa laki-laki dan wanita “setara” dalam hak dan kewajiban. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengingat kembali sabda Rasul Muhammad SAW dari sayyidah Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Abu Daud_yang artinya “sesungguhnya kaum wanita setara dengan kaum laki-laki”. Dari arti hadist ini kita harus sadari dan mengakui bahwa tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki.
Namun kesetaraan itu bukanlah berarti “sama” yang menuntut tugas dan peran wanita sama dengan laki-laki, tetapi kesetaraan itu sesuai dengan porsi dan fitrah serta tidak kerluar dari kodratnya masing-masing. Wanita lebih tepatnya jika berperan dan memang seharusnya sebagai mitra partisipatif (setara) bagi kaum laki-laki yang mesti dilindungi dan disayangi, karena inilah yang sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Seperti orang bijak mengatakan wanita tercipta dari tulang rusuk dekat dengan jantung untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk selalu disayangi. Bahkan, dalam al Qur’an tersirat bahwa laki-laki dan wanita mempunyai peran masing-masing, kedudukan laki-laki adalah pelindung bagi wanita (ar rijalu qawwamuna ala an-nisa’). Karena secara lahiriyah (fisik) dan bathiniyah (mental) laki-laki memiliki kelebihan kekuatan badan, kesehatan fikiran, keluasan penalaran, kemampuan ekonomi, kecerdasan pikiran, ketabahan, kesigapan dan kelebihan anugerah (QS. An Nisa’ 34).
Wanita sebagai mitra partisipatif dituntut menjadi mar’ah shalihah yang tidak sekedar hanya memberikan kehangatan tapi mampu untuk menjadi pribadi yang iffah dan patuh kepada pasangannya serta taat kepada Allah SWT. disamping itu wanita dituntut untuk mampu memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya (hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallah), karena Allah telah memuliakan mereka dengan faraj itu. Islam menempatkan wanita pada derajat mulia. Dalam posisi ini, tiada suatu keindahan yang bisa melebihi perhiasan/ penampilan indahnya wanita‑wanita shaleh “al dunya mata’un wa kahira mata’iha al mar’atus sholihah” (Al Hadist). Sekarang marilah kita berfikir sejenak harus bagaimanakah para wanita berperan untuk selalu mendapatkan predikatnya sebagai mar’ah sholihah? Haruskah mereka berperan seperti laki-laki atau tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang menuntutnya untuk menjadi mar’ah sholihah?
Selain dituntut untuk menjadi mar’ahsholihah yang tidak boleh melampaui (mendahului) laki-laki memang tidak dapat dipungkiri bahwa wanita (secara kodrat) mempunyai peran ganda yakni, sebagai penyejuk hati dan pendidik utama. Kondisi ini menyebabkan sorga terhampar dibawah telapak kaki Wanita (ibu). Didalam naungan konsep Islam, para wanita memiliki kepribadian sempurna, pergaulan ma’ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta, kelembutan dan perlindungan, kehormatan dalam perpaduan hak dan kewajiban. Dalam konteks Islam inilah, sesungguhnya emansipasi tidak dapat diartikan perjuangan persamaan derajat, karena pada kedua jenis jender ini sudah terdapat kesetaraan hak yang wajar. Tidak melebihi dan tidak melewati kodrat dan fitrahnya masing-masing.
Sangat penting untuk disadari dan diingat bahwa baik dan buruknya kehidupan suatu bangsa adalah tergantung pada wanitanya. Hal ini tidak lain karena wanita mempunyai peran yang sangat urgen dalam kehidupan keluarga, terutama dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak-naknya. Maka, dari dalam lubuk hati mar’ah sholihah yang tulus dan dengan tangannya yang lembut terampil dicetak generasi bertauhid berwatak taqwa, khusyuk (telaten) dalam berkarya (amal) dan kaya dengan rasa malu, berkarakter manusiawi yang akan menjadi inti masyarakat yang hidup dengan tamaddun (budaya) dalam suatu bangsa. Lain halnya dengan wanita yang kurang memperhatikan kehidupan keluarganya lantaran terlalu sibuk dengan dunianya diluar sehingga tidak mampu mencurahkan segala perhatian dan perannya sebagai seorang ibu yang dari seorang ibu itulah sebetulnya pendidikan anak-anaknya bermula.
Untuk memahami perannya, yang diperlukan sesungguhnya adalah pemahaman dan pengamalan bulat tentang peran wanita dalam al Qur’an pada posisi azwajan  yang saling terkait, saling membutuhkan, dan terjauh dari eksploitasi. Konsep pemahaman azwajan itu mengandung makna pasangan dengan posisi kesetaraan. Dapat dipahami sebenarnya pengunaan kata pasangan (azwajan) apabila dikaitkan dengan pemahaman bahwa tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di sampingnya.
Sebetulnya, posisi wanita tersebut di atas yang mesti didengungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis perempuan saat ini. Bukan malah mendengungkan hal yang tidak sewajarnya yang dapat menggugah wanita untuk menuntut perannya sama dengan laki-laki yang justru dengan ini dapat membawa wanita keluar dari kodrat dan fitrahnhya sebagai pendamping dan mitra partisipatif. Jika hal itu yang kita lakukan, maka wanita pada masa ini akan bisa menteladani kehidupan ummul mukminin (sayyidah khatijah) yang selalu mendukung perjuangan Rasulullah SAW dari belakang (bukan berperan sebagai subjek yang bergerak sendiri) sehingga mampu menjadi wanita yang paripurna.
Namun alasan yang sering ditampilkan aktivis persamaan gender hanya itu-itu saja, misalnya: persamaan dalam hak pekerjaan. Memang ada kaum wanita yang sukses dalam pekerjaan bahkan sampai ada yang menjadi Presiden suatu negara, menjadi manager, menjadi teknisi, menjadi apa yang menjadi impian laki-laki dalam hal pekerjaan dan cita-cita. Wanita-wanita perkasa tersebut memang patut dikagumi, Sendainya saja, para kaum wanita bisa menjadi pribadi yang iffah, dalam artian bisa menjaga diri dan menjaga dari efek yang ditimbulkan tentunya fine-fine saja. Tetapi siapa yang tahu di dalam hati seseorang? Bisa menjadi ghibah maupun (maaf) zina hati dan pemikiran. Apakah langsung dibalikkan ke personal masing-masing? Pakai logika sekarang. Kenapa teguran berupa bencana  dari Allah tidak hanya untuk orang-orang lalai dan kafir saja? tetapi kenapa tidak pandang bulu? Mari kita segarkan ingatan kita kembali pada ilmu yang pernah kita peroleh dari Madrasah dan Pondok Pesantren tentang azab yang juga bisa menimpa kaum muslim akibat tidak mengingatkan saudaranya yang lalai, bahkan “memaklumkan” perbuatan yang lalai tersebut. Wallahu a’lam bisshawaf.

MENGHINDARI KEKERASAN DALAM KONTROVERSI AHMADIYAH DI INDONESIA


 Oleh: Ahmad Fawaid, MA (Ketua LAKPESDAM NU Cab. Pamekasan.
           Tidak ada yang membantah bahwa Indonesia dihuni oleh beragam suku, etnik, agama, budaya, dan agama. Sebagai sebuah bangsa yang menghimpun beragam suku, etnik, agama, budaya, dan agama, tentu Indonesia patut bersyukur atas segala berkah ini. Namun demikian, di balik anugerah yang luar biasa, Indonesia menghadapi beragam persoalan sebagai dampak dari kemajemukan. Ini artinya, kemajemukan bisa menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita. Menjadi ujian karena keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama seringkali menjadi pemicu munculnya konflik di masyarakat. Sementara menjadi berkah karena kenyataan itu menjadi kekayaan yang patut diselamatkan sehingga kita bisa saling memahami dan menghargai sesama atas dasar kesamaan bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Dalam perjalanan bangsa, betapa kita menyaksikan bagaimana rakyat Indonesia berjuang menghadapi penjajah. Segala perbedaan menyangkut kebudayaan, etnisitas, kesukuan, agama dan daerah, menjadi persoalan sekunder. Yang primer adalah bagaimana bersatu padu membangun bangsa menuju negara bangsa kuat yang memiliki dampak positif bagi warga negaranya. Namun, seiring dengan berlalunya era penjajahan, segala perjuangan bersama melampaui segala perbedaan yang ada mulai bergeser. Gesekan-gesekan yang berujung konflik kekerasan malah terjadi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Konflik kekerasan antara satu kelompok etnis dengan kelompok etnis yang lain sering terjadi; antara satu agama tertentu dengan agama yang lain pun terjadi. Bahkan di internal umat beragama pun tidak jarang konflik juga terjadi.
***
Salah satu persoalan yang sering kali melahirkan konflik hingga saat ini adalah seputar Ahmadiyah. Sebenarnya, keberadaan Ahmadiyah sudah dikenal sebelum kemerdekaan Indonesia. Konon Ahmadiyah Lahore pertama kali datang di Jawa, sementara Ahmadiyah Qadian datang di Sumatera (Zulkarnaen: 2005). Tepatnya tahun 1953, Ahmadiyah mendapatkan status badan hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Pada tahun 1980-an MUI mengeluarkan keputusan sesat kepada Ahmadiyah yang kemudian ditegaskan kembali pada pada tahun 2005. Pada tahun 2005 inilah, Kampus Mubarak di Parung yang menjadi markas Ahmadiyah diserang. Penyerangan yang sama terjadi pada tahun-tahun berikutnya, termasuk yang paling mutakhir adalah peristiwa Ciekeusik, Banten.
Pada tahun 2008 lalu, pemerintah mengeluarkan SKB  3 Menteri yang isinya “membekukan” ajaran Ahmadiyah yang dinilai menyimpang dari pokok-pokok dasar ajaran Islam. Memang, persoalan Ahmadiyah kerap memicu kontroversi lantaran adanya doktrin keagamaan yang berbeda dengan prinsip-prinsip qath’i akidah Islamiyah. Padahal Ahmadiyah mendakwakan dirinya sebagai bagian dari Agama Islam. Faktor inilah yang memicu perdebatan berkepanjangan, bahkan tidak sekadar konflik gagasan tetapi juga berujung pada konflik kekerasan. Kasus Kampus Mubarak di Parung dan yang mutakhir di Ciekeusik Banten menunjukkan bahwa persoalan keyakinan terkait dengan Ahmadiyah ini belum tuntas.
Dalam Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI) tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, dituliskan, di antaranya, bahwa “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” Doktrin keberadaan nabi setelah Nabi Muhammad SAW yang diyakini JAI tentu saja bertentangan dengan keyakinan umat Islam secara umum bahwa Nabi Muhammad Saw sebagai khatimul anbiya’ wal mursalin. Doktrin ini, bagi mayoritas umat Islam, jelas merupakan bagian dari penodaan terhadap ajaran agama.
Oleh karena itu, saya sepakat dengan apa yang telah diputuskan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 9-11 September 2005 melalui Rapat Pleno Syuriah yang mengeluarkan sikap resminya bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan keluar dari Islam karena tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir, sebuah keyakinan yang disepakati mayoritas umat Islam. Keputusan yang sama juga diambil oleh ormas Islam lainnya. Muhammadiyah misalnya. Menurut Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin, sikap Muhammadiyah sudah jelas soal Ahmadiyah bahwa ajaran yang meyakini adanya nabi selain Nabi Muhammad SAW melanggar akidah Islam. Tentu saja tidak ada kompromi dalam persoalan akidah. Lebih lanjut Din menegaskan bahwa terkait keberadaan Ahmadiyah, Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut pada pemerintah. Bahwa jika ada kegiatan dari kelompok tertentu yang mengganggu kelompok yang lain, maka negara punya kewenangan untuk menegakkan ketertiban sosial.
Sikap tersebut tentu saja tidak salah. Sebagai bagian dari aliran sesat, maka keberadaan Ahmadiyah patut dilarang. Pelarangan kepada Ahmadiyah sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila yang menjamin kebebasan bagi setiap warga Negara Indonesia dalam beragama. Bahkan saya sependapat dengan apa yang dikatakan mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, bahwa Pancasila memang menjamin kebebasan setiap warga negara Indonesia dalam beragama. Namun, dasar negara itu jelas tidak memberikan kebebasan bagi kelompok atau pihak-pihak tertentu untuk menodai atau melecehkan agama lain.
Apa yang dilakukan oleh JAI ini jelas menodai prinsip-prinsip akidah Islamiyah yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman. Oleh karena itu, saya juga mendukung keputusan Gubernur Jawa Timur yang telah mengeluarkan SK pelarangan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah nyata-nyata bertentangan dengan Islam sementara pada saat yang sama mereka masih mengaku dirinya sebagai penganut agama Islam.
Sungguhpun demikian, pelarangan terhadap aktifitas Ahmadiyah ini tidak berarti membenarkan tindakan kekerasan dan sikap anarkis yang dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat. Kita seharusnya menolak kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. Karena ketika suatu persoalan dihadapi dengan kekerasan, malah akan melahirkan kekerasan lanjutan, bahkan bisa jadi kekerasan itu tidak berujung. Saya kira, poin keempat dalam SKB 3  menteri patut juga diperhatikan bahwa “Untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”.
Ini artinya bahwa meskipun secara akidah Ahmadiyah tidak sama dengan doktrin dan ajaran Islam, namun ketidaksamaan akidah bukan berarti menjadi dalih untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang kepada kelompok yang berbeda dengan keyakinan kita. Sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya patuh pada aturan dan perundang-undangan yang berlaku, jangan serta merta menjadi hakim sendiri atas kasus-kasus yang tidak sesuai dengan keyakinan kita. Akhirnya, kita bisa bersikap bijak dalam menyikapi kontroversi Ahmadiyah di Indonesia dengan cara menghindari kekerasan, walaupun kita sadar bahwa secara teologis ajaran Ahmadiyah telah menodai ajaran pokok akidah Islam.[]