Kamis, 08 Maret 2012

MENGHINDARI KEKERASAN DALAM KONTROVERSI AHMADIYAH DI INDONESIA


 Oleh: Ahmad Fawaid, MA (Ketua LAKPESDAM NU Cab. Pamekasan.
           Tidak ada yang membantah bahwa Indonesia dihuni oleh beragam suku, etnik, agama, budaya, dan agama. Sebagai sebuah bangsa yang menghimpun beragam suku, etnik, agama, budaya, dan agama, tentu Indonesia patut bersyukur atas segala berkah ini. Namun demikian, di balik anugerah yang luar biasa, Indonesia menghadapi beragam persoalan sebagai dampak dari kemajemukan. Ini artinya, kemajemukan bisa menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita. Menjadi ujian karena keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama seringkali menjadi pemicu munculnya konflik di masyarakat. Sementara menjadi berkah karena kenyataan itu menjadi kekayaan yang patut diselamatkan sehingga kita bisa saling memahami dan menghargai sesama atas dasar kesamaan bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Dalam perjalanan bangsa, betapa kita menyaksikan bagaimana rakyat Indonesia berjuang menghadapi penjajah. Segala perbedaan menyangkut kebudayaan, etnisitas, kesukuan, agama dan daerah, menjadi persoalan sekunder. Yang primer adalah bagaimana bersatu padu membangun bangsa menuju negara bangsa kuat yang memiliki dampak positif bagi warga negaranya. Namun, seiring dengan berlalunya era penjajahan, segala perjuangan bersama melampaui segala perbedaan yang ada mulai bergeser. Gesekan-gesekan yang berujung konflik kekerasan malah terjadi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Konflik kekerasan antara satu kelompok etnis dengan kelompok etnis yang lain sering terjadi; antara satu agama tertentu dengan agama yang lain pun terjadi. Bahkan di internal umat beragama pun tidak jarang konflik juga terjadi.
***
Salah satu persoalan yang sering kali melahirkan konflik hingga saat ini adalah seputar Ahmadiyah. Sebenarnya, keberadaan Ahmadiyah sudah dikenal sebelum kemerdekaan Indonesia. Konon Ahmadiyah Lahore pertama kali datang di Jawa, sementara Ahmadiyah Qadian datang di Sumatera (Zulkarnaen: 2005). Tepatnya tahun 1953, Ahmadiyah mendapatkan status badan hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Pada tahun 1980-an MUI mengeluarkan keputusan sesat kepada Ahmadiyah yang kemudian ditegaskan kembali pada pada tahun 2005. Pada tahun 2005 inilah, Kampus Mubarak di Parung yang menjadi markas Ahmadiyah diserang. Penyerangan yang sama terjadi pada tahun-tahun berikutnya, termasuk yang paling mutakhir adalah peristiwa Ciekeusik, Banten.
Pada tahun 2008 lalu, pemerintah mengeluarkan SKB  3 Menteri yang isinya “membekukan” ajaran Ahmadiyah yang dinilai menyimpang dari pokok-pokok dasar ajaran Islam. Memang, persoalan Ahmadiyah kerap memicu kontroversi lantaran adanya doktrin keagamaan yang berbeda dengan prinsip-prinsip qath’i akidah Islamiyah. Padahal Ahmadiyah mendakwakan dirinya sebagai bagian dari Agama Islam. Faktor inilah yang memicu perdebatan berkepanjangan, bahkan tidak sekadar konflik gagasan tetapi juga berujung pada konflik kekerasan. Kasus Kampus Mubarak di Parung dan yang mutakhir di Ciekeusik Banten menunjukkan bahwa persoalan keyakinan terkait dengan Ahmadiyah ini belum tuntas.
Dalam Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI) tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, dituliskan, di antaranya, bahwa “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” Doktrin keberadaan nabi setelah Nabi Muhammad SAW yang diyakini JAI tentu saja bertentangan dengan keyakinan umat Islam secara umum bahwa Nabi Muhammad Saw sebagai khatimul anbiya’ wal mursalin. Doktrin ini, bagi mayoritas umat Islam, jelas merupakan bagian dari penodaan terhadap ajaran agama.
Oleh karena itu, saya sepakat dengan apa yang telah diputuskan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 9-11 September 2005 melalui Rapat Pleno Syuriah yang mengeluarkan sikap resminya bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan keluar dari Islam karena tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir, sebuah keyakinan yang disepakati mayoritas umat Islam. Keputusan yang sama juga diambil oleh ormas Islam lainnya. Muhammadiyah misalnya. Menurut Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin, sikap Muhammadiyah sudah jelas soal Ahmadiyah bahwa ajaran yang meyakini adanya nabi selain Nabi Muhammad SAW melanggar akidah Islam. Tentu saja tidak ada kompromi dalam persoalan akidah. Lebih lanjut Din menegaskan bahwa terkait keberadaan Ahmadiyah, Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut pada pemerintah. Bahwa jika ada kegiatan dari kelompok tertentu yang mengganggu kelompok yang lain, maka negara punya kewenangan untuk menegakkan ketertiban sosial.
Sikap tersebut tentu saja tidak salah. Sebagai bagian dari aliran sesat, maka keberadaan Ahmadiyah patut dilarang. Pelarangan kepada Ahmadiyah sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila yang menjamin kebebasan bagi setiap warga Negara Indonesia dalam beragama. Bahkan saya sependapat dengan apa yang dikatakan mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, bahwa Pancasila memang menjamin kebebasan setiap warga negara Indonesia dalam beragama. Namun, dasar negara itu jelas tidak memberikan kebebasan bagi kelompok atau pihak-pihak tertentu untuk menodai atau melecehkan agama lain.
Apa yang dilakukan oleh JAI ini jelas menodai prinsip-prinsip akidah Islamiyah yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman. Oleh karena itu, saya juga mendukung keputusan Gubernur Jawa Timur yang telah mengeluarkan SK pelarangan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah nyata-nyata bertentangan dengan Islam sementara pada saat yang sama mereka masih mengaku dirinya sebagai penganut agama Islam.
Sungguhpun demikian, pelarangan terhadap aktifitas Ahmadiyah ini tidak berarti membenarkan tindakan kekerasan dan sikap anarkis yang dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat. Kita seharusnya menolak kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. Karena ketika suatu persoalan dihadapi dengan kekerasan, malah akan melahirkan kekerasan lanjutan, bahkan bisa jadi kekerasan itu tidak berujung. Saya kira, poin keempat dalam SKB 3  menteri patut juga diperhatikan bahwa “Untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”.
Ini artinya bahwa meskipun secara akidah Ahmadiyah tidak sama dengan doktrin dan ajaran Islam, namun ketidaksamaan akidah bukan berarti menjadi dalih untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang kepada kelompok yang berbeda dengan keyakinan kita. Sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya patuh pada aturan dan perundang-undangan yang berlaku, jangan serta merta menjadi hakim sendiri atas kasus-kasus yang tidak sesuai dengan keyakinan kita. Akhirnya, kita bisa bersikap bijak dalam menyikapi kontroversi Ahmadiyah di Indonesia dengan cara menghindari kekerasan, walaupun kita sadar bahwa secara teologis ajaran Ahmadiyah telah menodai ajaran pokok akidah Islam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar