Kamis, 08 Maret 2012

WANITA ADALAH MITRA PARTISIPATIF BAGI LAKI-LAKI

Oleh: Abd. Raseed
Pahlawan Kesiangan, para aktivis_yang kurang mengerti tentang arti “kesetaraan”_ yang baru-baru ini menyuarakan dan memperjuangkan kesetaraan gendre antara pria dan wanita saat ini sangat tepat apabila kita beri laqob dengan “Pahlawan Kesiangan”. Karena jauh sebelum kita terlahir, bahkan sebelum kakek dan nenek kita dilahirkanpun, datangnya Islam dan turunya Al-Qur’an di Pangkuan Rasulullah SAW telah mengakui bahwa laki-laki dan wanita “setara” dalam hak dan kewajiban. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengingat kembali sabda Rasul Muhammad SAW dari sayyidah Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Abu Daud_yang artinya “sesungguhnya kaum wanita setara dengan kaum laki-laki”. Dari arti hadist ini kita harus sadari dan mengakui bahwa tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki.
Namun kesetaraan itu bukanlah berarti “sama” yang menuntut tugas dan peran wanita sama dengan laki-laki, tetapi kesetaraan itu sesuai dengan porsi dan fitrah serta tidak kerluar dari kodratnya masing-masing. Wanita lebih tepatnya jika berperan dan memang seharusnya sebagai mitra partisipatif (setara) bagi kaum laki-laki yang mesti dilindungi dan disayangi, karena inilah yang sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Seperti orang bijak mengatakan wanita tercipta dari tulang rusuk dekat dengan jantung untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk selalu disayangi. Bahkan, dalam al Qur’an tersirat bahwa laki-laki dan wanita mempunyai peran masing-masing, kedudukan laki-laki adalah pelindung bagi wanita (ar rijalu qawwamuna ala an-nisa’). Karena secara lahiriyah (fisik) dan bathiniyah (mental) laki-laki memiliki kelebihan kekuatan badan, kesehatan fikiran, keluasan penalaran, kemampuan ekonomi, kecerdasan pikiran, ketabahan, kesigapan dan kelebihan anugerah (QS. An Nisa’ 34).
Wanita sebagai mitra partisipatif dituntut menjadi mar’ah shalihah yang tidak sekedar hanya memberikan kehangatan tapi mampu untuk menjadi pribadi yang iffah dan patuh kepada pasangannya serta taat kepada Allah SWT. disamping itu wanita dituntut untuk mampu memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya (hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallah), karena Allah telah memuliakan mereka dengan faraj itu. Islam menempatkan wanita pada derajat mulia. Dalam posisi ini, tiada suatu keindahan yang bisa melebihi perhiasan/ penampilan indahnya wanita‑wanita shaleh “al dunya mata’un wa kahira mata’iha al mar’atus sholihah” (Al Hadist). Sekarang marilah kita berfikir sejenak harus bagaimanakah para wanita berperan untuk selalu mendapatkan predikatnya sebagai mar’ah sholihah? Haruskah mereka berperan seperti laki-laki atau tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang menuntutnya untuk menjadi mar’ah sholihah?
Selain dituntut untuk menjadi mar’ahsholihah yang tidak boleh melampaui (mendahului) laki-laki memang tidak dapat dipungkiri bahwa wanita (secara kodrat) mempunyai peran ganda yakni, sebagai penyejuk hati dan pendidik utama. Kondisi ini menyebabkan sorga terhampar dibawah telapak kaki Wanita (ibu). Didalam naungan konsep Islam, para wanita memiliki kepribadian sempurna, pergaulan ma’ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta, kelembutan dan perlindungan, kehormatan dalam perpaduan hak dan kewajiban. Dalam konteks Islam inilah, sesungguhnya emansipasi tidak dapat diartikan perjuangan persamaan derajat, karena pada kedua jenis jender ini sudah terdapat kesetaraan hak yang wajar. Tidak melebihi dan tidak melewati kodrat dan fitrahnya masing-masing.
Sangat penting untuk disadari dan diingat bahwa baik dan buruknya kehidupan suatu bangsa adalah tergantung pada wanitanya. Hal ini tidak lain karena wanita mempunyai peran yang sangat urgen dalam kehidupan keluarga, terutama dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak-naknya. Maka, dari dalam lubuk hati mar’ah sholihah yang tulus dan dengan tangannya yang lembut terampil dicetak generasi bertauhid berwatak taqwa, khusyuk (telaten) dalam berkarya (amal) dan kaya dengan rasa malu, berkarakter manusiawi yang akan menjadi inti masyarakat yang hidup dengan tamaddun (budaya) dalam suatu bangsa. Lain halnya dengan wanita yang kurang memperhatikan kehidupan keluarganya lantaran terlalu sibuk dengan dunianya diluar sehingga tidak mampu mencurahkan segala perhatian dan perannya sebagai seorang ibu yang dari seorang ibu itulah sebetulnya pendidikan anak-anaknya bermula.
Untuk memahami perannya, yang diperlukan sesungguhnya adalah pemahaman dan pengamalan bulat tentang peran wanita dalam al Qur’an pada posisi azwajan  yang saling terkait, saling membutuhkan, dan terjauh dari eksploitasi. Konsep pemahaman azwajan itu mengandung makna pasangan dengan posisi kesetaraan. Dapat dipahami sebenarnya pengunaan kata pasangan (azwajan) apabila dikaitkan dengan pemahaman bahwa tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di sampingnya.
Sebetulnya, posisi wanita tersebut di atas yang mesti didengungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis perempuan saat ini. Bukan malah mendengungkan hal yang tidak sewajarnya yang dapat menggugah wanita untuk menuntut perannya sama dengan laki-laki yang justru dengan ini dapat membawa wanita keluar dari kodrat dan fitrahnhya sebagai pendamping dan mitra partisipatif. Jika hal itu yang kita lakukan, maka wanita pada masa ini akan bisa menteladani kehidupan ummul mukminin (sayyidah khatijah) yang selalu mendukung perjuangan Rasulullah SAW dari belakang (bukan berperan sebagai subjek yang bergerak sendiri) sehingga mampu menjadi wanita yang paripurna.
Namun alasan yang sering ditampilkan aktivis persamaan gender hanya itu-itu saja, misalnya: persamaan dalam hak pekerjaan. Memang ada kaum wanita yang sukses dalam pekerjaan bahkan sampai ada yang menjadi Presiden suatu negara, menjadi manager, menjadi teknisi, menjadi apa yang menjadi impian laki-laki dalam hal pekerjaan dan cita-cita. Wanita-wanita perkasa tersebut memang patut dikagumi, Sendainya saja, para kaum wanita bisa menjadi pribadi yang iffah, dalam artian bisa menjaga diri dan menjaga dari efek yang ditimbulkan tentunya fine-fine saja. Tetapi siapa yang tahu di dalam hati seseorang? Bisa menjadi ghibah maupun (maaf) zina hati dan pemikiran. Apakah langsung dibalikkan ke personal masing-masing? Pakai logika sekarang. Kenapa teguran berupa bencana  dari Allah tidak hanya untuk orang-orang lalai dan kafir saja? tetapi kenapa tidak pandang bulu? Mari kita segarkan ingatan kita kembali pada ilmu yang pernah kita peroleh dari Madrasah dan Pondok Pesantren tentang azab yang juga bisa menimpa kaum muslim akibat tidak mengingatkan saudaranya yang lalai, bahkan “memaklumkan” perbuatan yang lalai tersebut. Wallahu a’lam bisshawaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar