Oleh: Abd. Raseed
Pahlawan
Kesiangan, para
aktivis_yang kurang mengerti tentang arti “kesetaraan”_ yang baru-baru
ini menyuarakan dan memperjuangkan kesetaraan gendre antara pria dan wanita saat
ini sangat tepat apabila kita beri laqob dengan “Pahlawan Kesiangan”.
Karena jauh sebelum kita terlahir, bahkan sebelum kakek dan nenek kita
dilahirkanpun, datangnya Islam dan turunya Al-Qur’an di Pangkuan Rasulullah SAW
telah mengakui bahwa laki-laki dan wanita “setara” dalam hak dan
kewajiban. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengingat kembali sabda Rasul
Muhammad SAW dari sayyidah Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Imam
Ahmad dan Abu Daud_yang artinya “sesungguhnya kaum wanita setara dengan kaum
laki-laki”. Dari arti hadist ini kita harus sadari dan mengakui bahwa tidak
ada perbedaan antara wanita dan laki-laki.
Namun kesetaraan itu bukanlah berarti “sama” yang
menuntut tugas dan peran wanita sama dengan laki-laki, tetapi kesetaraan itu
sesuai dengan porsi dan fitrah serta tidak kerluar dari kodratnya masing-masing.
Wanita lebih tepatnya jika berperan dan memang seharusnya sebagai mitra partisipatif
(setara) bagi kaum laki-laki yang mesti dilindungi dan disayangi, karena inilah
yang sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Seperti orang bijak mengatakan wanita
tercipta dari tulang rusuk dekat dengan jantung untuk dilindungi dan dekat
dengan hati untuk selalu disayangi. Bahkan, dalam al Qur’an tersirat bahwa
laki-laki dan wanita mempunyai peran masing-masing, kedudukan laki-laki adalah
pelindung bagi wanita (ar rijalu qawwamuna ala an-nisa’). Karena secara
lahiriyah (fisik) dan bathiniyah (mental) laki-laki memiliki kelebihan kekuatan
badan, kesehatan fikiran, keluasan penalaran, kemampuan ekonomi, kecerdasan
pikiran, ketabahan, kesigapan dan kelebihan anugerah (QS. An Nisa’ 34).
Wanita sebagai mitra partisipatif dituntut menjadi mar’ah
shalihah yang tidak sekedar hanya memberikan kehangatan tapi mampu untuk
menjadi pribadi yang iffah dan patuh kepada pasangannya serta taat
kepada Allah SWT. disamping itu wanita dituntut untuk mampu memelihara kesucian
faraj di belakang pasangannya (hafidzaatun lil ghaibi bimaa
hafidzallah), karena Allah telah memuliakan mereka dengan faraj itu. Islam
menempatkan wanita pada derajat mulia. Dalam posisi ini, tiada suatu keindahan
yang bisa melebihi perhiasan/ penampilan indahnya wanita‑wanita shaleh “al
dunya mata’un wa kahira mata’iha al mar’atus sholihah” (Al Hadist).
Sekarang marilah kita berfikir sejenak harus bagaimanakah para wanita berperan
untuk selalu mendapatkan predikatnya sebagai mar’ah sholihah? Haruskah mereka
berperan seperti laki-laki atau tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang
menuntutnya untuk menjadi mar’ah sholihah?
Selain dituntut untuk menjadi mar’ahsholihah yang tidak
boleh melampaui (mendahului) laki-laki memang tidak dapat dipungkiri bahwa wanita
(secara kodrat) mempunyai peran ganda yakni, sebagai penyejuk hati dan
pendidik utama. Kondisi ini menyebabkan sorga terhampar dibawah telapak
kaki Wanita (ibu). Didalam naungan konsep Islam, para wanita memiliki
kepribadian sempurna, pergaulan ma’ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta,
kelembutan dan perlindungan, kehormatan dalam perpaduan hak dan kewajiban.
Dalam konteks Islam inilah, sesungguhnya emansipasi tidak dapat diartikan
perjuangan persamaan derajat, karena pada kedua jenis jender ini sudah terdapat
kesetaraan hak yang wajar. Tidak melebihi dan tidak melewati kodrat dan
fitrahnya masing-masing.
Sangat penting untuk disadari dan diingat bahwa baik dan
buruknya kehidupan suatu bangsa adalah tergantung pada wanitanya. Hal ini tidak
lain karena wanita mempunyai peran yang sangat urgen dalam kehidupan keluarga,
terutama dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak-naknya. Maka, dari dalam lubuk hati mar’ah
sholihah yang tulus dan
dengan tangannya yang lembut terampil dicetak generasi bertauhid berwatak
taqwa, khusyuk (telaten) dalam berkarya (amal) dan kaya dengan rasa malu,
berkarakter manusiawi yang akan menjadi inti masyarakat yang hidup dengan
tamaddun (budaya) dalam suatu bangsa. Lain halnya
dengan wanita yang kurang memperhatikan kehidupan keluarganya lantaran terlalu
sibuk dengan dunianya diluar sehingga tidak mampu mencurahkan segala perhatian
dan perannya sebagai seorang ibu yang dari seorang ibu itulah sebetulnya
pendidikan anak-anaknya bermula.
Untuk memahami perannya, yang diperlukan sesungguhnya adalah
pemahaman dan pengamalan bulat tentang peran wanita dalam al Qur’an pada posisi azwajan yang
saling terkait, saling membutuhkan, dan terjauh dari eksploitasi. Konsep
pemahaman azwajan itu mengandung makna pasangan dengan posisi
kesetaraan. Dapat dipahami sebenarnya pengunaan kata pasangan (azwajan)
apabila dikaitkan dengan pemahaman bahwa tidak punya arti sesuatu kalau
pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang
setara di sampingnya.
Sebetulnya, posisi wanita tersebut di atas yang mesti didengungkan
dan diperjuangkan oleh para aktivis perempuan saat ini. Bukan malah
mendengungkan hal yang tidak sewajarnya yang dapat menggugah wanita untuk
menuntut perannya sama dengan laki-laki yang justru dengan ini dapat membawa wanita
keluar dari kodrat dan fitrahnhya sebagai pendamping dan mitra partisipatif.
Jika hal itu yang kita lakukan, maka wanita pada masa ini akan bisa menteladani
kehidupan ummul mukminin (sayyidah khatijah) yang selalu mendukung perjuangan Rasulullah
SAW dari belakang (bukan berperan sebagai subjek yang bergerak sendiri)
sehingga mampu menjadi wanita yang paripurna.
Namun alasan yang sering ditampilkan aktivis
persamaan gender hanya itu-itu saja, misalnya: persamaan dalam hak pekerjaan.
Memang ada kaum wanita yang sukses dalam pekerjaan bahkan sampai ada yang
menjadi Presiden suatu negara, menjadi manager, menjadi teknisi, menjadi apa
yang menjadi impian laki-laki dalam hal pekerjaan dan cita-cita. Wanita-wanita
perkasa tersebut memang patut dikagumi, Sendainya saja, para kaum wanita bisa
menjadi pribadi yang iffah, dalam artian bisa menjaga diri dan menjaga
dari efek yang ditimbulkan tentunya fine-fine saja. Tetapi siapa yang tahu di
dalam hati seseorang? Bisa menjadi ghibah maupun (maaf) zina hati dan
pemikiran. Apakah langsung dibalikkan ke personal masing-masing? Pakai logika
sekarang. Kenapa teguran berupa bencana dari Allah tidak hanya untuk
orang-orang lalai dan kafir saja? tetapi kenapa tidak pandang bulu? Mari kita
segarkan ingatan kita kembali pada ilmu yang pernah kita peroleh dari Madrasah
dan Pondok Pesantren tentang azab yang juga bisa menimpa kaum muslim akibat
tidak mengingatkan saudaranya yang lalai, bahkan “memaklumkan” perbuatan yang
lalai tersebut. Wallahu a’lam bisshawaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar