Kamis, 08 Maret 2012

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN


( Analisis kritis tentang kontribusi Islam pada ilmu pengetahuan
 perspektif historis)
Oleh: Mohammad Darwis, M.Pd.I. *

Abstrak
Tulisan ini mencoba mengangkat peran dan kontribusi Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam percaturan peradaban dunia. Melalui pendekatan historis-empiris. Kajian ini dimaksudkan memberikan penguatan serta spirit internalisasi dalam mempertahankan eksistensi dan kontineuitas peran islam kedepan. Hal ini penting karena kompleksitasnya problem yang dihadapi. Secara intern, umat islam sering kali masih terjebak dengan over confiden dan eforia masa lalu yang menjumudkan pemikiran, atau sebaliknya sering merasa minder dan pesimis. Lebih dari itu, dalam kontek ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan masih bersifat wacana yang debatible karena masih belum ditemukannya rumusan konsep dan kurikulum yang baku. Sedangkan secara ekstern, Barat yang tidak rela kejayaan yang telah digenggamnya selama ini beralih lagi kedalam dominasi umat islam, selalu berusaha mempertahankan eksistensi dan otoritasnya dengan cara apapun. Problem yang komplek inilah yang harus disikapi umat islam secara arif dan progresif.
Kata kunci : Islam, Kontribusi, Ilmu Pengetahuan, Historis
Pendahuluan
Kehadiran agamain slam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat  berbagai petunjuk tentang bagaimana manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang selua-luasnya. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis, dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan meterial dan spiritual, bersikap egaliter dan sikap-sikap positif lainnya.[1]
 Dalam konteks relasi Islam dan ilmu pengetahuan’ Islam dengan al-Qur’annya haruslah diposisikan sebagai sumber inspirasi pengembangan ilmu pengetahuan secara proporsional. Dalam hal ini, menurut  Quraish  Shihab al-Qur’an hendaknya ditempatkan pada sisi “social psychology” (psikologi sosial) bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).[2]hal tersebut menjadi penting agar kecendrungan penilaian subjektif peranan agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara khusus bisa diminimalisir dan ditekan. 
 Kejayaan Islam dalam beberapa periode yang berbeda, serta sumbangan Islam pada lahirnya berbagai ilmu pengetahuan modern membuat "iri" dan sentiment tersendiri bagi agama-agama lain. Hal tersebut terjadi tidak hanya oleh faktor sentimen pihak luar semata, namun terkadang karena subjektifitas yang berlebihan kalangan intern umat islam sendiri yang kurang proporsional. Sehingga muncullah berbagai kajian "miring" yang sengaja dilakukan oleh kaum yang mengaku menggeluti Islam, padahal sebenarnya mereka adalah musuh Islam. Golongan yang terakhir ini akrab dijuluki kaum orientalis yang sengaja mengkaji Islam hanya untuk mempelajari kelemahan-kelemahannya, dimana sampai saat ini hal tersebut tidak pernah terbukti.
            Fenomena ini tentunya menjadi problem tersendiri yang harus disikapi secara dewasa dan arif oleh umat islam. Diantara kearifan sikap yang semestinya dilakukan, hendaknya kaum muslimin bisa membuktikan secara ilmiah tentang kebenaran agamanya, dengan mendudukkan fakta historis dan empiris sebagai landasannya.   Adanya korelasi antara islam dan sains, kemajuan intelektual, kematangan ekonomi, teknologi, tingginya nilai-nilai sosial dan budaya haruslah bisa dibahasakan secara membumi dan tidak hanya melangit.
Tulisan singkat ini akan membahas peranan penting dan kontribusi Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan ditengah pluralitas agama-agama yang ada di Dunia.

Argumentasi Kebenaran Islam di Tengah Pluralitas Agama

Islam adalah agama yang terakhir di antara sekian agama besar di Dunia, yang semuanya merupakan kekuatan raksasa ditengah usaha bereksistensi dan mengambil peranan dalam membangun peradaban dunia. Di sisi lain Islam bukan hanya agama yang datang belakangan, namun diyakini sebagai agama yang sempurna dan menyempurnakan agama-agama yang sebelumnya.[3]
Mengenai posisi Islam terhadap agama-agama yang datang sebelumnya dapat dikemukakan sebagai berikut;[4]Pertama, dapat dilihat dari ciri khas agama islam yang paling menonjol yaitu mengakui bahwa agama-agama besar yang datang sebelumnya (baca;Yahudi dan Nasrani) adalah agama yang diwahyukan Allah SWT. Islam juga memerintahkan umatnya untuk mengimani hal tersebut. Kedua, Islam adalah agama yang menyempurnakan agama-agama samawi yang sebelumnya. Ketiga, Islam memainkan peranan-peranan penting yang menjadi tugas pokoknya, yaitu; (1)mendatangkan perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan antar agama sekalipun,(2)menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam semua agama, (3)memperbaiki kesalahan penganut agama sebelumnya dengan dimasukkan ke dalam agamanya,(4)mengajarkan kebenaran abadi yang sebelumnya tak pernah diajarkan  serta memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusi yang selalu bergerak maju. Keempat, Islam mengandung misi pembaharuan terhadap agama-agama sebelumnya. Kelima, di antara agama-agama yang lain, Islam memiliki dua sifat dominan, yaitu akomodatif dan persuasif. Keenam, Islam memiliki ajaran moral dan Akhlak yang tidak kalah dengan agama-agama yang lain. Dari ini, kita bisa memahami bahwa agama Islam memiliki korelasi dan koherensi ajaran dengan agama-agama yang lain yang memiliki keistimewaan sebagai yang sempurna dan penyempurna.
 Namun demikian, umat Islam dituntut untuk mengenal Islam secara kaffah (menyeluruh). Islam sebagai agama samawi yang diturunkan terakhir ke dunia, tidak hanya dikagumi oleh umat Islam sendiri, akan tetapi lebih dari itu orang-orang di luar Islam (barat) juga melakukan kajian-kajian yang mendalam terhadap Islam. Merekalah yang disebut dengan kaum orientalis[5] Kritik-kritik kaum oreintalis yang diarahkan kepada Islam kadang-kadan disebabkan kesalahan mereka sendiri dalam memahami Islam, serta pengingkaran terhadap hati nurani mereka kepada kebenaran Islam sebagai agama rahmatan li al-'alamin.Tapi juga  tidak jarang ditemukan dalam beberapa literatur yang mengungkapkan rasa kekaguman mereka terhadap Islam. Diantaranya dapat dicontohkan ungkapan Gauhar, " masyarakat Islam itu tidak hanya masyarakat yang berkeseimbangan, akan tetapi juga secara ideal dipenuhi oleh misi moral dan sikap aktivitas" yang mengagumkan,[6] demikian pula yang dikatakan  Gibb, "Islam bukan hanya suatu sistem teologi yang mengajarkan ketuhanan, tetapi lebih dari itu ia adalah ajaran yang dapat mernghasilkan peradaban dan kebudayaan yang sempurna" (Islam is indeed much more than system of theology, it is a complete civilization).[7] Sedangkan ungkapan ilmuan muslim sendiri terhadap keagungan Islam, dapat dicontohkan perkataan al-Maududi, "Islam bukan hanya kumpulan dogma dan ritual, tetapi merupakan suatu pedoman hidup yang lengkap" (Islam is not a more collection of dogmas and rituals, it is a complete way of life).[8]
Dalam konteks muatan ajaran, Islam tidak hanya memuat konsep kehidupan umat manusia dalam bidang ritual saja, akan tetapi aspek-aspek yang lain juga menjadi kajian utamanya. Miftah Farid sebagaimana dikutip Ali Hasan mengatakan, bahwa kandungan pokok ajaran Islam adalah: Aqidah, syari'ah yang terdiri dari ibadah dan muamalah, pembinaan keluarga, kemasyarakatan, kepemimpinan, pergaulan sesama manusia, hubungan antar agama, makanan dan minuman, harta warisan, hukum perkawinan, hukum perjanjian, hukum pidana, hukum perang (politik),  kedisiplinan, dan musyawarah (syura).[9]
Untuk memahamai Islam dengan sempurna, maka diperlukan sebuah pendekatan (approach) yang akan mengantarkan pada sisi arah kajian itu dilakukan. Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[10] Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai deangan kerangka paradigmanya.[11]Selanjutnya secara garis besar, Noeng Muhajir membagi metodologi studi Islam ke dalam dua pendekatan, pendekatan pertama adalah pendekatan teologik sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren dan madrasah, dengan muatan kurikulum tradisional seperti ulumul qur'an, ulumul hadits, fiqih, teologi, sejarah dan filsafat. Pendekatan ini akan melahirkan ahli-ahli di bidang teologi, fiqh, kalam, tafsir, hadits dan bahasa.  Sedangkan pendekatan kedua adalah pendekatan multidisipliner dan interdisipliner yang memuat perangkat ilmu-ilmu untuk memahami kurikulum yang telah ada. Pendekatan ini akan melahirkan ahli politik, ekonomi, pendidikan, filsafat dan segala ilmu bantu lainnya.[12]
Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Para pemikir dalam wacana ilmu pengetahuan dan Islam umumnya tak menaruh perhatian serius pada pengkajian sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam maupun filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat sejak akhir abad ke-19 –Yang dapat dikecualikan dari pernyataan ini mungkin hanya Iqbal dan Surush. Keduanya mempelajari filsafat secara langsung di Eropa.
Khusus mengenai sejarah ilmu pengetahuan, di masa Iqbal belum tampak pengkajian yang serius. Ketika itu kajian tentang al-Biruni, Ibn Sina, Thusi, Ibn al-Haytham masih amat langka. Manuskrip yang telah berusia beberapa abad baru mulai digali dari perpustakaan. Sesungguhnya, dalam salah satu esai pendeknya, “A Plea for A Deeper Study of Muslim Scientists” (Imbauan bagi Kajian Lebih Dalam Mengenai Ilmuwan Muslim), Iqbal pernah secara khusus berbicara tentang hal ini. Ia menyeru kepada Muslim sezamannya untuk secara serius mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim terdahulu. Dalam esai itu ia memberikan beberapa contoh tentang betapa majunya pikiran para ilmuwan Muslim di zamannya. Beberapa di antaranya bahkan telah mengantisipasi temuan-temuan mutakhir ilmu pengetahuan yang revolusioner.
Saat ini, kerja beberapa dasawarsa penelitian manuskrip-manuskrip kuno itu telah mulai membuahkan hasilnya. Hasil-hasil pengkajian itu telah membantu banyak untuk memberi gambaran tentang bagaimana “ilmu pengetahuan” – yang berdasarkan temuan-temuan itu pendefinisiannya sebagai sesuatu yang universal terjadi, baik di peradaban Barat maupun Islam, masih dapat dipertanyakan – berkembang dalam tradisi Islam. Salah satu paparan modern pertama adalah karya monumental George Sarton, Introduction to the History of Science (Pengantar Sejarah Ilmu Pengetahuan) terbit tahun 1927. Dalam salah satu jilid karya itu terdapat beberapa bab yang dikhususkannya untuk membahas ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, Ibn Haytsam, dan sebagainya. Lalu karya Fuat Sezgin yang belum selesai, Geschichte des Arabischen Schriftums (Sejarah Khazanah Penulisan Arab), yang menyurvei tak kurang dari 1,5 juta manuskrip berbahasa Arab, telah mampu menampilkan nama-nama ilmuwan Muslim berserta karyanya serta ruang lingkup pengkajian mereka yang amat luas.
Di samping karya-karya survei seperti itu, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah cukup banyak pula karya-karya ilmuwan Muslim di masa awal peradaban Islam yang diterjemahkan, terutama ke dalam bahasa Inggris. Ini memungkinkan lebih banyak peneliti sejarah ilmu pengetahuan Islam yang tak akrab dengan bahasa mereka untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang ilmu pengetahuan Islam.
Berkat karya-karya perintis itulah, belakangan ini muncul beberapa karya cemerlang – sebagian besarnya dalam bentuk artikel di jurnal-jurnal ilmiah – baik yang ditulis Muslim maupun non-Muslim. Dengan itu kini telah terbentuk gambaran yang lebih baik tentang dinamika perkembangan “ilmu pengetahuan” dalam tradisi intelektual Islam; tentang bagaimana para ilmuwan zaman itu mengasimilasi karya-karya ilmiah Yunani; bagaimana konflik dengan beberapa pandangan Islam diselesaikan; dan sebagainya.
Beberapa sarjana terkemuka yang bisa disebut di sini adalah Aydin Sayili, asal Turki, yang meneliti sejarah astronomi dan astrologi; A.I. Sabra, profesor bidang sejarah ilmu pengetahuan dari Universitas Harvard, yang menulis tentang pola-pola perjumpaan ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh Muslim sendiri dengan warisan dari peradaban lain, khususnya Yunani; Ignaz Goldziher, tentang pertentangan ilmu-ilmu asli Arab-Islam dengan ilmu-ilmu hasil adopsi dari peradaban-peradaban non-Islam; Ahmad Hassan dan Donald Hill yang menulis sebuah buku tentang sejarah teknologi dalam Islam; D.A. King tentang perkembangan matematika, dan banyak lagi lainnya.
Selain pengkajian atas beberapa disiplin tersebut, telah mulai pula muncul kajian sistematis tentang pola perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Salah satu persoalan yang amat mendapat perhatian adalah tentang sebab-sebab kemerosotan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dalam tahap awalnya saat ini, analisis historis tersebut masih terbatas dalam lingkungan akademis sejarawan ilmu pengetahuan. Jika ini telah tersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas, tentu akan menjadi amat penting dalam setiap pembicaraan tentang upaya pembangkitan kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Islamisasi Ilmu Sebagai Sebuah Gerakan
Gagasan-gagasan para pemikir yang menganjurkan islamisasi ilmu pengetahuan atau penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam dapat dikatakan telah mewujud dalam suatu “gerakan”. Ini karena meskipun pada awalnya mereka bergerak sebagai individu, belakangan terbentuk berbagai kelompok pemikir, sebagian dengan lembaganya masing-masing, untuk mengembangkan atau bahkan menerapkan gagasan tersebut pada tingkat praktis. Dalam hal ini perbedaan mereka dengan Iqbal, misalnya, tampak jelas jika dilihat bahwa gagasan-gagasan Iqbal – secemerlang apa pun gagasannya, dibandingkan dengan banyak pemikir Muslim kontemporer sekalipun – tinggal sebagai gagasan dan tak terwujud dalam suatu lembaga yang dapat meneruskan cita-citanya.
Syed Hosein Nasr, misalnya, meskipun tak memiliki lembaga formal yang mengembangkan gagasannya, mempunyai banyak murid yang aktif menulis mengembangkan perspektif tradisionalisnya di beberapa negara, seperti Malaysia dan Pakistan . Murid terpenting Nasr adalah Osman Bakar, dari Malaysia . Memperoleh gelar Master dalam bidang matematika ( London ) dan Doktor dalam filsafat Islam ( Temple University ), tema-tema karya Bakar tak jauh berbeda dari Nasr. Karya terpentingnya dalam hal ini adalah Tauhid and Science (Tauhid dan ILmu Pengetahuan, 1991) yang merupakan kumpulan esai tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan Islam. Bakar kini aktif di Fakultas Ilmu pengetahuan, Universiti Malaya.
Ziauddin Sardar dan kelompok Ijmali-nya muncul ke forum intelektual Islam melalui majalah Afkar/Inquiry yang mereka terbitkan. Majalah ini secara amat gencar mengupas satu demi satu bidang-bidang ilmu pengetahuan – di antaranya biologi, masalah lingkungan, juga antropologi – dalam kerangka besar penciptaan peradaban Islam kontemporer. Afkar/Inquiry, yang hanya terbit selama empat tahun (1984-1987), sempat menjadi majalah yang cukup penting dalam menampilkan gagasan-gagasan baru itu. Setelah itu, para penyumbang utamanya lebih banyak menerbitkan buku.
Salah seorang tokoh Ijmali lain di antaranya adalah Munawar Ahmad Anees, seorang doktor di bidang biologi. Kajian-kajian kritisnya tentang biologi modern tak hanya berhenti pada tingkat teoretis, tetapi sudah menukik hingga ke beberapa masalah praktis. Di sini ia juga melihat implikasinya pada fikih Islam. Selain artikel-artikel yang ditulisnya di Afkar/Inquiry, ia telah menulis sebuah buku, Islam and the Biological Futures (Islam dan Masa Depan Biologis). Selain Anees ada Meryl Wynn Davies, yang mencoba menggali nilai-nilai islami untuk diterapkan dalam suatu disiplin antropologi. Buku Davies tentang antropologi Islam yang telah diterbitkan adalah Knowing One Another (Saling Mengenal). Lalu ada pula Parvez Mansoor yang banyak menulis tentang perpektif Islam atas lingkungan dan ilmu politik kontemporer.
Di luar lingkup gerakan kelompok Ijmali, mesti disebut juga sebuah jurnal berbahasa Inggris yang berbasis di Aligarh, India, Journal of Islamic Science (Majalah Ilmu Pengetahuan Islam). Jurnal ini sepenuhnya diperuntukkan bagi pengkajian masalah-masalah di seputar ilmu pengetahuan Islam. Secara umum, posisi jurnal ini mirip dengan posisi Sardar, yang menghendaki reorientasi epistemologis yang radikal. Namun, yang lebih sering muncul di sini adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan modern, daripada penggodokan gagasan ilmu pengetahuan Islam sendiri. Jurnal ini tampaknya kurang berdampak dan tak dianggap sebagai jurnal penting di lingkungan akademis.
Pada 1981, al-Faruqi mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Thought, IIIT (Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) . Mendahului pembentukan IIIT adalah penyelenggaraan konferensi tentang islamisasi ilmu di Swiss pada tahun 1977. Penyelenggaranya adalah Association of Muslim Social Scientists (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Muslim), di bawah Muslim Students Association (Perhimpunan Mahasiswa Muslim), sebuah organisasi Islam yang paling berpengaruh di AS, dengan al-Faruqi sebagai salah seorang pendirinya (-> artikel “Minoritas Muslim pada Abad ke-20). Konperensi tentang islamisasi ilmu ini berlanjut dengan konperensi kedua ( Islamabad , 1983), ketiga (Kuala Lumpur, 1984), dan keempat ( Khartoum , 1987). Lembaga ini berbasis di Amerika Serikat, namun kini cabangnya di Malaysia tampak berkembang amat pesat dan lebih mendominasi. Ini terutama disebabkan oleh kuatnya pengaruh IIIT di Universiti Islam Antarbangsa (International Islamic University, IIU) Malaysia .
Dengan dukungan dana yang cukup kuat, lembaga ini hingga kini telah berhasil menerbitkan amat banyak publikasi, dalam bahasa Inggris dan Arab, di samping sebuah jurnal, American Journal of Islamic Social Sciences, AJISS (Majalah Amerika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Islam). Beberapa tahun terakhir ini upaya islamisasi telah diterjemahkan ke dalam berbagai disiplin ilmu yang spesifik, khususnya ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi.
Upaya penerbitan buku dalam bahasa Inggris dan Arab yang amat gencar itu diikuti dengan penerjemahannya ke beberapa bahasa Islam lain, termasuk bahasa Indonesia . Selain itu, IIIT telah pula mulai menyelenggarakan seminar-seminar regional di beberapa negara Muslim, khususnya di Asia Tenggara, yang menjadi ajang sosialisasi gagasan Islamisasi ilmu dalam berbagai bidangnya.
Di Malaysia, selain IIU yang menjadi basis pengembangan islamisasi ilmu versi IIIT, ada pula International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC (Lembaga Internasiona untuk Pemikiran dan Peradaban Islam), yang didirikan pada 1987. ISTAC didirikan sebagai perwujudan gagasan Syed Naquib al-Attas, dan dirancang berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan al-Attas belasan tahun sebelum lembaga ini berdiri. ISTAC juga aktif menerbitkan buku dan menarik banyak dosen dan mahasiswa dari berbagai wilayah dunia Islam. Mulai 1996, sebuah jurnal pemikiran Islam, Al-Shajarah, diterbitkan ISTAC.
ISTAC juga menerbitkan banyak buku hasil karya para dosennya, terutama dalam bidang pemikiran Islam. Pada 1996 lembaga ini menerbitkan sebuah buku tentang ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science, Towards A Definition [Ilmu Pengetahuan Islam, Menuju Suatu Definisi) karya Alparslan Acikgenc, seorang dosen asal Turki yang belajar di bawah Fazlur Rahman (1919-1988) dan kini mengajar di ISTAC. Buku ini berusaha menjabarkan lebih jauh gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan berupaya mendefinisikan ilmu pengetahuan Islam secara tajam.
Dengan dukungan dana dari pemerintah Malaysia yang cukup kuat - untuk mendatangkan dosen-dosen dari negara-negara Muslim, memperkaya perpustakannya, dan mendanai riset-riset - ISTAC tampaknya masih akan terus mampu mengembangkan gagasan al-Attas, sebagai pendiri dan direkturnya, dalam menciptakan fondasi teoretis bagi proyek islamisasinya. Berbeda dengan IIU, ISTAC lebih menekankan pada pengembangan landasan teoretis yang terutama menyangkut metafisika dan epistemologi ini daripada melakukan upaya islamisasi secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar